Senin, 30 Januari 2012

Presiden Penyair Indonesia
Pria kelahiran 24 Juni 1941 ini digelari ‘presiden penyair Indonesia’. Menurut para seniman di Riau, kemampuan Soetardji laksana rajawali di langit, paus di laut yang bergelombang, kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi.
Dia telah meraih sejumlah pengharaan atas karya-karya sastranya. Antara lain Hadiah Sastra ASEAN (1979), Hadiah Seni (1993), Anugerah Sastra Chairil Anwar (1998), serta Anugerah Akademi Jakarta (2007). Dia memiliki gaya tersendiri saat membacakan puisinya, kadang kala jumpalitan di atas panggung, bahkan sambil tiduran dan tengkurap.
Penyair kondang lulusan FISIP Unpad jurusan Administrasi Negara, ini pada ulang tahun ke-67 Sutardji Calzoum Bachri, Selasa (24/6/2008) malam, yang diperingati di Pekanbaru, Riau, mendapat apresiasi dan kejutan.
Kejutan pertama dari rekan-rekannya di Dewan Kesenian Riau berupa penerbitan kumpulan puisi Atau Ngit Cari Agar dan buku …Dan, Menghidu Pucuk Mawar Hujan yang berisi kumpulan tulisan mengupas perjalanan sastranya. Atau Ngit Cari Agar adalah kumpulan puisi yang dia buat dalam kurun 1970-an hingga 2000-an. Puisi-puisi itu tak ada dalam buku kumpulan puisinya, Amuk (1977) dan Amuk Kapak (1981).
Kejutan tak terduga kedua ialah dari seorang pencinta seni Riau yang tak disebutkan namanya berupa uang Rp 100 juta. Soetardji tentu berterimakasih atas apresiasi itu, walau dia terlihat biasa saja saat menerima hadiah Rp 100 juta itu. “Sehebat-hebat karya sastra yang dihasilkan seniman tak berarti jika tidak mendapat apresiasi masyarakat,” ujarnya berterimakasih. Menurutnya, dia termasuk beruntung karena mendapat apresiasi.
Read the rest of this entry »
Bapak Seni Lukis Indonesia Modern
Dia pionir yang mengembangkan seni lukis modern khas Indonesia. Pantas saja komunitas seniman, menjuluki pria bernama lengkap Sindudarsono Sudjojono yang akrab dipanggil Pak Djon iini dijuluki Bapak Seni Lukis Indonesia Baru. Dia salah seorang pendiri Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) di Jakarta tahun 1937 yang merupakan awal sejarah seni rupa modern di Indonesia.
Pelukis besar kelahiran Kisaran, Sumatra Utara, 14 Desember 1913, ini sangat menguasai teknik melukis dengan hasil lukisan yang berbobot. Dia guru bagi beberapa pelukis Indonesia. Selain itu, dia mempunyai pengetahuan luas tentang seni rupa. Dia kritikus seni rupa pertama di Indonesia.
Ia seorang nasionalis yang menunjukkan pribadinya melalui warna-warna dan pilihan subjek. Sebagai kritikus seni rupa, dia sering mengecam Basoeki Abdullah sebagai tidak nasionalistis, karena melukis perempuan cantik dan pemandangan alam. Sehingga Pak Djon dan Basuki dianggap sebagai musuh bebuyutan, bagai air dan api, sejak 1935.
Tapi beberapa bulan sebelum Pak Djon meninggal di Jakarta, 25 Maret 1985, pengusaha Ciputra mempertemukan Pak Djon dan Basuki bersama Affandi dalam pameran bersama di Pasar Seni Ancol, Jakarta. Sehingga Menteri P&K Fuad Hassan, ketika itu, menyebut pameran bersama ketiga raksasa seni lukis itu merupakan peristiwa sejarah yang penting.
Pak Djon lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa, buruh perkebunan di Kisaran, Sumatera Utara. Namun sejak usia empat tahun, ia menjadi anak asuh. Yudhokusumo, seorang guru HIS, tempat Djon kecil sekolah, melihat kecerdasan dan bakatnya dan mengangkatnya sebagai anak. Yudhokusumo, kemudianmembawanya ke Batavia tahun 1925.
Djon menamatkan HIS di Jakarta. Kemudian SMP di Bandung dan SMA Taman Siswa di Yogyakarta. Dia pun sempat kursus montir sebelum belajar melukis pada RM Pirngadie selama beberapa bulan dan pelukis Jepang Chioji Yazaki di Jakarta.
Bahkan sebenarnya pada awalnya di lebih mempersiapkan diri menjadi guru daripada pelukis. Dia sempat mengajar di Taman Siswa. Setelah lulus Taman Guru di Perguruan Taman Siswa Yogyakarta, ia ditugaskan Ki Hajar Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Madiun tahun 1931.
Namun, Sudjojono yang berbakat melukis dan banyak membaca tentang seni lukis modern Eropa, itu akhirnya lebih memilih jalan hidup sebagai pelukis. Pada tahun 1937, dia pun ikut pameran bersama pelukis Eropa di Kunstkring Jakarya, Jakarta. Keikutsertaannya pada pameran itu, sebagai awal yang memopulerkan namanya sebagai pelukis.
Bersama sejumlah pelukis, ia mendirikan Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar Indonesia), 1937. Sebuah serikat yang kemudian dianggap sebagai awal seni rupa modern Indonesia. Dia sempat menjadi sekretaris dan juru bicara Persagi.
Sudjojono, selain piawai melukis, juga banyak menulis dan berceramah tentang pengembangan seni lukis modern. Dia menganjurkan dan menyebarkan gagasan, pandangan dan sikap tentang lukisan, pelukis dan peranan seni dalam masyarakat dalam banyak tulisannya. Maka, komunitas pelukis pun memberinya predikat: Bapak Seni Lukis Indonesia Baru.
Lukisannya punya ciri khas kasar, goresan dan sapuan bagai dituang begitu saja ke kanvas. Objek lukisannya lebih menonjol pada pemandangan alam, sosok manusia, serta suasana. Pemilihan objek itu lebih didasari hubungan batin, cinta, dan simpati sehingga tampak bersahaja. Lukisannya yang monumental antara lain berjudul: Di Depan Kelambu Terbuka, Cap Go Meh, Pengungsi dan Seko.
Dalam komunitas seni-budaya, kemudian Djon masuk Lekra, lalu masuk PKI. Dia sempat terpilih mewakili partai itu di parlemen. Namun pada 1957, ia membelot. Salah satu alasannya, bahwa buat dia eksistensi Tuhan itu positif, sedangkan PKI belum bisa memberikan jawaban positif atas hal itu. Di samping ada alasan lain yang tidak diungkapkannya yang juga diduga menjadi penyebab Djon menceraikan istri pertamanya, Mia Bustam. Lalu dia menikah lagi dengan penyanyi seriosa, Rose Pandanwangi. Nama isterinya ini lalu diabadikannya dalam nama Sanggar Pandanwangi. Dari pernikahannya dia dianugerahi 14 anak.
Di tengah kesibukannya, dia rajin berolah raga. Bahkan pada masa mudanya, Djon tergabung dalam kesebelasan Indonesia Muda, sebagai kiri luar, bersama Maladi (bekas menteri penerangan dan olah raga) sebagai kiper dan Pelukis Rusli kanan luar.
Itulah Djon yang sejak 1958 hidup sepenuhnya dari lukisan. Dia juga tidak sungkan menerima pesanan, sebagai suatu cara profesional dan halal untuk mendapat uang. Pesanan itu, juga sekaligus merupakan kesempatan latihan membuat bentuk, warna dan komposisi.
Ada beberapa karya pesanan yang dibanggakannya. Di antaranya, pesanan pesanan Gubernur DKI, yang melukiskan adegan pertempuran Sultan Agung melawan Jan Pieterszoon Coen, 1973. Lukisan ini berukuran 300310 meter, ini dipajang di Museum DKI Fatahillah.
Secara profesional, penerima Anugerah Seni tahun 1970, ini sangat menikmati kepopulerannya sebagai seorang pelukis ternama. Karya-karyanya diminati banyak orang dengan harga yang sangat tinggi di biro-biro lelang luar negeri. Bahkan setelah dia meninggal pada tanggal 25 Maret 1985 di Jakarta, karya-karyanya masih dipamerkan di beberapa tempat, antara lain di: Festival of Indonesia (USA, 1990-1992); Gate Foundation (Amsterdam, Holland, 1993); Singapore Art Museum (1994); Center for Strategic and International Studies (Jakarta, Indonesia, 1996); ASEAN Masterworks (Selangor, Kuala Lumpur, Malaysia, 1997-1998).
Sumber : http://www.tokohindonesia.com/
Perupa Perlawanan Penindasan
Dia perupa yang gigih menyuarakan perlawanan terhadap ketidakadilan, penindasan dan penghisapan manusia atas manusia lain yang termarjinalkan. Sejumlah lukisan pria kelahiran Medan, Sumatra Utara, 11 Juni 1952, itu menggambarkan kondisi sebuah negeri yang menderita akibat ulah dan penindasan tersistem oleh manusia yang berkuasa. Putra Mayjen (Purn) Ricardo Siahaan, ini seorang aktivis murni, yang rela berkorban bagi sesama.
Pelukis yang terakhir menggelar pameran tunggal di Galeri Nasional (2004), itu meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah Tabanan, Rabu 23 Februari 2005 pukul 01.00 Wita. Jenazahnya disemayamkan di Galeri Cipta Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Menteng Pulo, Kamis 24 Februari 2005, setelah diadakan upacara pelepasan pukul 11.00.
Pria peranakan, ayah Batak dan ibu keturunan India, ini wafat saat berupaya membangun studionya di Dusun Kesambi, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, 16 kilometer di utara kota Tabanan, Bali. Saat itu, dia tiba-tiba terlihat lemas ketika mengawasi perataan tanah. Dia mengeluh rasa sakit di bagian dada. Kemudian kejang- kejang. Ahli gambar di atas kertas ini mengalami serangan jantung, yang merenggut nyawanya.
Sejumlah lukisan anak kedua dari enam bersaudara, ini bertema keseharian yang kritis merekam kebobrokan moral masyarakat. Salah satu lukisannya yang pernah dipamerkan di Galeri Nasional berjudul Pizza. Lukisan berbentuk piza yang di dalamnya ada potongan-potongan segitiga seperti piza, cukup menggambarkan berbagai fenomena kehidupan saat ini. Di antaranya, penggambaran tentang penjungkirbalikan fakta yang sering terjadi.
Perupa kondang yang memilih hidup berpihak pada kaum tertindas itu sering menggambarkan kegetiran para kaum buruh dari penindasan majikan. Bahkan kepeduliannya kepada kaum buruh tertindas tidak hanya terpancar dari karya lukis dan patungnya. Dia pun aktif sebagai salah seorang pendiri Serikat Buruh Merdeka bersama H Pongke Princent.
Dia juga sangat peduli terhadap masalah lingkungan. Sejumlah lukisannya bertema keserakahan negara-negara kaya yang membabat hutan di negara-negara miskin. Lukisan itu ikut dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia, 17- 31 Agustus 2004. Bahkan pada tahun 1980-an, dia juga aktif di Sekretariat Perlindungan Hutan Indonesia (Skepy) yang menentang pembabatan hutan di berbagai daerah.
Dalam beberapa karyanya, seniman yang tidak mau diatur oleh kurator dan tidak mau didikte dalam berkarya, itu juga memosisikan diri sebagai objek, tidak selalu sebagai subjek yang merekam objek saja. Seperti tergambar dari lukisannya Self Potrait with Black Orchid dan Buruh.
Semsar Siahaan, yang akrab dipanggil Sam, dikenal sebagai perupa yang kritis dan sering melakukan aksi protes. Pada saat kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) tahun 1981, dia pernah membakar karya lukisnya sendiri karena dianggap hanya bersifat suvenir. Ia menggali lubang-lubang kubur dan mengisinya dengan patung-patung mayat di dalam Bienalle Seni Rupa Jakarta IX di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Lalu, pelukis yang sering melakukan aksi demonstrasi di era pemerintahan Orde Baru, itu pun dipecat dari ITB karena melakukan aksi membakar patung berjudul Irian Dalam Tarso, karya pelukis Soenaryo, dosennya, yang dianggapnya sebagai seni kemasan yang mengeksploitasi orang Papua dan mendapatkan uang dari situ, sementara orang Papua tidak dapat apa-apa. Saat itu, dia membungkus patung karya Soenaryo, sehingga orang mengira itu patung karyanya sendiri. Patung itu dibakar, akibatnya dia dipecat dari ITB.
Dia pun pergi ke Prancis. Di sana dia mendalami seni lukis. Ia juga menyempatkan diri kuliah di San Francisco Art Institute. Bukan kali ini saja dia belajar seni di luar negeri. Ketika mengikuti ayahnya yang menjadi atase militer di Beograd, Semsar juga sempat kursus menggambar.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1984, dia kembali ke Tanah Air. Dia pun menunjukkan integritas dan dukungan pada gerakan mahasiswa yang prodemokrasi dengan menggelar pameran lukisan yang disertai diskusi keliling di sejumlah kampus di Pulau Jawa. Ketika itu, lagi-lagi membakar puluhan lukisannya di hadapan para aktivis.
Ketika Tempo, Editor dan Detik dibredel penguasa Orde Baru, dia pun ikut bergabung demonstrasi. Saat itu (27/6/1994), dia bahkan pasang badan melindungi seorang perempuan yang dianiaya aparat. Dia cedera berat, kakinya patah dan harus dirawat berbulan-bulan di rumah sakit. Namun, kakinya yang patah tidak bisa disembuhkan total, dia cacat. Dalam kondisi demikian, dia pun ikut membidani berdirinya Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) bersama aktivis pers lainnya di Indonesia.
Dia seperti punya dua nyawa, tak merasa takut mati. Namun, pada 1997, saat situasi politik dalam negeri dalam keadaan galau ditandai dengan penculikan terhadap beberapa aktivis, Semsar meninggalkan tanah air, pergi ke Kanada. Ia dibujuk sahabat ayahnya, sekalian untuk berobat.
Sepulang dari Kanada, dia pun memilih akan lebih baik tinggal menetap di Dusun Kesambi, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, 16 kilometer di utara kota Tabanan, Bali. Di sana dia punya tanah yang dibelinya dari seorang petani yang tanahnya tergadaikan karena tidak mampu membayar utang. Di atas tanah seluas lebih 3000 meter itu dia membangun studio.
Sejak 1 Januari 2005, dia telah memutuskan akan menetap di situ. Sebelumnya dia sempat berniat menetap Pematang Siantar, kampung leluhurnya atau di Banda Aceh, kampung putri Aceh yang pernah dinikahi dan memberinya seorang anak, namun meninggal dalam usia sehari. Namun, Semsar boleh berancana untuk hidup dan berkarya menetap di Jatiluwih, tetapi kehendak Tuhan jualah yang jadi. Dia dipanggil, menghadap kehadiratNya.
Sumber : http://www.tokohindonesia.com
Empu Seni Tari Klasik Yogyakarta
Sasminta Mardawa, bernama kecil Soemardjono dan akrab dipanggil Romo Sas, kelahiran Yogyakarta, 9 April 1929, digelari sebagai empu seni tari klasik gaya Yogyakarta. Dia menghadirkan nuansa tersendiri dalam jagat tari klasik Indonesia, khususnya bagi pengayaan khazanah seni budaya yang adiluhung.
Dia berperan signifikan dalam pengembangan tari klasik gaya Yogyakarta. Seniman ini punya andil menjadikan tari klasik Jawa digemari oleh masyarakat nasional dan dunia, pada era modern abad kedua puluh satu ini. Dia seniman yang konsekuen pada jalur pengabdian sosial budaya secara utuh.
Romo Sas ada penari, guru, sekaligus koreografer yang telah melahirkan banyak seniman tari. Dia telah menciptakan lebih 100 gubahan tari-tarian klasik, gaya Yogyakarta. Baik tari tunggal untuk putra dan putri, maupun tari berpasangan dan tari fragmen. Di antara karya-karya tarinya yang sangat digemari adalah tari Golek, Beksan, Srimpi dan Bedhaya.
Read the rest of this entry »
Penata Tari bagi Nurani Manusia
Seniman penata tari dan penari berambut sebahu, lulusan SMA Negeri 4 Surabaya, Sardono Waluyo Kusumo dikukuhkan menjadi Guru Besar Institut Kesenian Jakarta (IKJ) 14 Januari 2004. Ia seniman pertama dari Asia yang mendapat penghargaan ISPA. Sepanjang karirnya dia telah menghasilkan tak kurang 25 tarian. Sejak usia 23 tahun ia tak pernah berhenti menciptakan karya tari bukan untuk jual beli, tetapi mencari arti bagi nurani manusia. Ia penata tari Indonesia berkaliber internasional.
Pagelaran tari “Nobody’s body” yang merupakan karya teranyarnya tahun 2000 serta peluncuran buku berjudul “Hanuman, Tarzan, dan Homo Erectus” turut menyemarakkan pengukuhan sang profesor yang seluruh hidupnya diabdikan hanya untuk seni tari.
Buku berisi kumpulan tulisan Sardono tentang tari agaknya menjadi salah satu alasan pelengkap penganugerahan jabatan pengajar tertinggi di lingkungan akademis itu. Mengingat, “sang prof” Mas Don –begitu pria kelahiran Surakarta 6 Maret 1945 ini biasa dipanggil— bukanlah jebolan sarjana setingkat S-1. Maklum, kuliah ayah satu anak ini, di Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada maupun Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tidak sampai selesai. Kendati demikian gelar itu dijamin tidak palsu sebab sudah ditandatangani langsung oleh Menteri Pendidikan Nasional Malik Fadjar pada 31 Mei 2003 lalu berdasarkan SK Bersama Menteri Pendidikan Nasional nomor 9601/A2.7/KP/2003.
Penghargaan seni tari yang pernah diterima Mas Don bukan hanya dari dalam negeri. Mas Don menerima Distinguished Artist Award dari International Society for the Perfoming Arts Foundation (ISPA), pada saat Masyarakat Seni Pertunjukan Internasional menyelenggarakan kongres di Singapura pada 20 Juni 2003 lalu.
ISPA memberi penghargaan untuk dedikasi Mas Don bagi dunia seni pertunjukan, terutama untuk kawasan Asia. Penghargaan sejenis pernah ISPA berikan ke beberapa seniman kaliber dunia seperti Martha Graham, Jerome Robbins, Mikhail Barysnikov, dan Sir Yehudi Menuhin. Dan, Sardono menjadi seniman pertama dari Asia yang mendapat penghargaan ISPA bersama dengan seniman asal Singapura, Ong Keng Sen.
Masyarakat Seni Pertunjukan Internasional atau International Society of Performing Arts (ISPA) yang berpusat di New York, AS dan didirikan tahun 1949, itu adalah sebuah forum terhormat dunia yang bertujuan mempromosikan nilai dan peran penting seni pertunjukan di dalam kehidupan. Organisasi ini beranggotakan sekitar 600 pengelola gedung pertunjukan, pusat kesenian, festival, kelompok seni pertunjukan, dan lembaga kesenian/kebudayaan pemerintah.
Lembaga ISPA ini juga mengenal Mas Don sebagai sosok yang mengangkat kebudayaan Jawa ke dunia internasional, namun uniknya, di sisi lain dia juga sering melawan tradisi Jawa. Dr Kwok Kian Woon, Kepala Practice Performing Arts Centre pada ISPA, menyebutkan banyak seniman Asia yang bagus tetapi Sardono bisa dikatakan sebagai seniman terkemuka yang memberi pengaruh pada perkembangan kesenian tradisional dan modern. Dia memberi warna lain dalam pertunjukan kontemporer, terutama untuk negara-negara Asia Tenggara.
Sementara dari Pemerintah negeri Belanda pada 1998, Mas Don menerima penghargaan berupa Prince Claus Award. Pemerintah Belanda melihat keseriusan Mas Don dalam melakukan riset di bidang seni dan budaya. Pengakuan lain dari dalam negeri dari Pemerintah RI terhadap Mas Don adalah penganugerahan penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari pemerintah Republik Indonesia tahun 2003.
Gelar profesor menjadi bukti tingginya pengakuan semua pihak terhadap hidup berkesenian Mas Don, yang sejak usia 23 sudah menghasilkan tari berjudul Samgita Pancasona yang waktu itu sudah dipentaskan di Jogjakarta, Solo, Jakarta. Tak lama setelah pementasan itu, dengan membawa nama misi kebudayaan ke luar negeri pada tahun 1971 Mas Don dengan bangga mementaskan tari Cak Tarian Rina di Iran dan Jepang.
Sepanjang karirnya dia telah menghasilkan tak kurang 25 tarian. Diantaranya adalah Dongeng dari Dirah, Hutan Plastik, Hutan Merintih, Passage Through the Gong, Opera Diponegoro, Cak Tarian Rina, Awal Metamorfosis, dan Samgita Pancasona. Semua karyanya punya keunikan tersendiri sebab pasti berhubungan dengan kondisi suatu mayarakat pada kurun waktu tertentu yang “dipotretnya” menjadi karya tari.
Dongeng dari Dirah adalah salah satu karya spektakuler Mas Don. Karya ini sempat dibawakan di Prancis, pada tahun 1974 dan mendapat banyak pujian dari kalangan seni tari. Dengan tarian ini pula dia dikritisi sejajar dengan dua maestro seni pertunjukan dunia, yaitu Maurice Bejart dan Robert Wilson. Padahal, usia Mas Don saat berkeliling dunia mementaskan pertunjukan itu baru 29 tahun. Dongeng dari Dirah yang menorehkan nama Mas Don ke dunia seni tari internasional, itu diangkat dari kisah klasik asal Bali, Calon Arang.
Apresiasi dunia luar terhadap Mas Don memang tinggi. Saat melakukan perjalanan karir keliling ke Amerika Serikat tahun 1993, adalah salah satu saat perjalanan karir lainnya yang berkesan. Pentas penampilan berjudul Passage Through the Gong ketika itu disambut hangat publik seni Negara Paman Sam. Road show tersebut digelar di Next Wave Festival Broklyn Academy of Music New York, San Francisco, Los Angeles, dan Burlington. Begitu antusiasnya sambutan warga New York, Mas Don melakukan pergelaran dua kali di ibu kota dunia itu. Dan di tahun yang sama, pentas kedua digelar di BAM Carey Playhouse, New York.
Keuletan Mas Don dalam menciptakan sebuah karya tari tak pernah berhenti. Dia terus menunjukkan kreativitas-kreativitas baru, biasanya setelah sekian lama mendalami kehidupan masyarakat yang ingin “dipotretnya” menjadi tarian. Dia mau masuk ke dalam kehidupan masyarakat tertentu. Seperti, untuk membuat kreasi tari dengan latar belakang masyarakat Dayak, Mas Don harus homestay di tengah hutan belantara Kalimantan bersama komunitas Dayak. Begitu juga saat dia terinspirasi suku Nias di Sumatera Utara.
Pargelaran pertunjukan berjudul Meta Ekologi yang mengetengahkan kepeduliannya terhadap lingkungan, di tahun 1975, terinspirasi setelah dia mendalami kehidupan Dayak dan Nias. Karya Mas Don lain tentang lingkungan adalah Hutan Plastik di tahun 1983 dan Hutan Merintah tahun 1987. Mas Don juga menghasilkan lakon Maha Buta pertanda dia tidak melupakan kehidupan spiritual yang diberikan Sang Khalik.
Di usia paruh bayanya, sejak tiga tahun terakhir Mas Don mulai berperan sebagai guru bagi siapa saja. Baginya, menjadi guru justru “menambah ilmu”, mendapatkan hal baru sebab pengalaman mengajar itu berbeda dengan menari.
Ayah dari Nugrahani, anak buah perkawinanya dengan Amna W.Kusumo ini tidak hanya menggeluti seni koreografi dengan menghasilkan karya-karya koreografi, tapi juga terjun sebagai pengader koreografer-koreografer muda. Hal itu dilakukannya dengan cara terjun sebagai seorang pengajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Solo, dan di Institut Kesenian Jakarta.
Dan jika bicara tentang mengajar maka pria berambut sebahu ini pasti akan bersemangat, terutama tentang perannya sebagai guru. Misalnya, Sardono mewajibkan setiap muridnya mempresentasikan karya akhirnya di tempat asal si murid. Dengan begitu Sardono bisa melihat bagaimana si murid “melihat” komunitas asal si murid itu sendiri, misalnya, setelah dua tahun belajar kesenian. Si seniman tak harus terputus interaksinya dengan masyarakatnya sendiri.
“Saya hanya berusaha memperkaya mereka dengan apa yang sebenarnya saya dapatkan, juga dari murid yang lain. Misalnya, saya membawa pengetahuan dari murid di Australia ketika mengajar di Solo, atau sebaliknya, setelah melihat presentasi murid di Padang, saya membawanya ketika mengajar di Singapura,” tuturnya. Ia memang sangat terlibat dengan pasang surut lingkungan masyarakatnya.
Belakangan ini Sardono tak lagi menghabiskan banyak waktunya di Indonesia, tapi sudah lintas negara Asia Tenggara. Dia mengaku masih pergi ke Padang, Bandung, atau Jakarta, di mana muridnya menggelar presentasi. Selain itu, ia juga pergi ke Hanoi, Kamboja, Singapura, dan lainnya. Lingkup penggaliannya tak lagi terbatas pada tradisi di Indonesia, tetapi mencakup Asia, terutama Asia Tenggara.
Staf pengajar IKJ ini sejak awal sudah mencoba berusaha memajukan kesenian di Indonesia dengan ikut terlibat mendirikan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta, yang merupakan cikal bakal Institut Kesenian Jakarta, pada 1970. Sekolah seni yang didirikannya dimaksudkannya untuk mendidik para seniman supaya menjadi orang besar. Dia lalu menggalakkan berbagai workshop dengan seniman tari dari luar negeri. Misalnya dengan Peter Brooks di Ecole Superieure de Choreographie di Prancis. Lantas, melakukan workshop di Denmark bersama dengan Odin Teatret dan Theatre du Soleil Prancis.
Dalam setiap mengajar Mas Don berusaha untuk tampil sekomprehensif mungkin, misalnya dengan menyisipkan elemen-elemen seni lain seperti senirupa, film, dan musik. Mas Don yang juga staf pengajar Program Pasca Sarjana STSI Solo ini beralasan, semua unsur seni itu saling terkait. Mendalami seni tari harus pula bisa melakukan seni peran di atas panggung, harus bisa melihat visualisasi dari sisi penonton dan bukan hanya dirinya sendiri.
Sumber : http://www.tokohindonesia.com
Sastrawan Pujangga Baru
Sanusi Pane, sastrawan Indonesia angkatan Pujangga Baru. Pria kelahiran Muara Sipongi, Sumatera Utara, 14 November 1905, ini juga berprofesi sebagai guru dan redaktur majalah dan surat kabar. Ia juga aktif dalam dunia pergerakan politik, seorang nasionalis yang ikut menggagas berdirinya “Jong Bataks Bond.” Karya-karyanya banyak diterbitkan pada 1920 -1940-an. Meninggal di Jakarta, 2 Januari 1968.
Bakat seni mengalir dari ayahnya Sutan Pengurabaan Pane, seorang guru dan seniman Batak Mandailing di Muara Sipongi, Mandailing Natal. Mereka delapan bersaudara, dan semuanya terdidik dengan baik oleh orang tuanya. Di antara saudaranya yang juga menjadi tokoh nasional,adalah Armijn Pane (sastrawan), dan Lafran Pane salah (seorang pendiri organisasi pemuda Himpunan Mahasiswa Islam).
Sanusi Pane menempuh pendidikan formal HIS dan ElS di Padang Sidempuan, Tanjungbalai, dan Sibolga, Sumatera Utara. Lalu melanjut ke MULO di Padang dan Jakarta, tamat 1922. Kemudian tamat dari Kweekschool (Sekolah Guru) Gunung Sahari, Jakarta, tahun 1925. Setelah tamat, ia diminta mengajar di sekolah itu juga sebelum dipindahkan ke Lembang dan jadi HIK. Setelah itu, ia mendapat kesempatan melanjut kuliah Othnologi di Rechtshogeschool.
Setelah itu, pada 1929-1930, ia mengunjungi India. Kunjungan ke India ini sangat mewarnai pandangan kesusasteraannya. Sepulang dari India, selain aktif sebagai guru, ia juga aktif jadi redaksi majalah TIMBUL (berbahasa Belanda, lalu punya lampiran bahasa Indonesia). Ia banyak menulis karangan-karangan kesusastraan, filsafat dan politik.
Selain itu, ia juga aktif dalam dunia politik. Ikut menggagas dan aktif di “Jong Bataks Bond.” Kemudian menjadi anggota PNI. Akibat keanggotannya di PNI, ia dipecat sebagai guru pada 1934. Namun sastrawan nasionalis ini tak patah arang. Ia malah menjadi pemimpin sekolah-sekolah Perguruan Rakyat di Bandung dan menjadi guru pada sekolah menengah Perguruan Rakyat di Jakarta. Kemudian tahun 1936, ia menjadi pemimpin surat kabar Tionghoa-Melayu KEBANGUNAN di Jakarta. Lalu tahun 1941, menjadi redaktur Balai Pustaka.
Sanusi Pane sastrawan pujangga baru yang fenomenal. Dalam banyak hal berbeda (antipode) dari Sutan Takdir Alisjahbana. Jika STA menghendaki coretan yang hitam dan tebal dibawah pra-Indonesia, yang dianggapnya telah menyebabkan bangsa Indonesia telah menjadi nista, Sanusi malah berpandangan sebaliknya, mencari ke jaman Indonesia purba dan ke arah nirwana kebudayaan Hindu-Budha. Sanusi mencari inspirasi pada kejayaan budaya Hindu-Budha di Indonesia pada masa lampau. Perkembangan filsafat hidupnya sampai pada sintesa Timur dan Barat, persatuan rohani dan jasmani, akhirat dan dunia, idealisme dan materialisme. Puncak periode ini ialah dramanya Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di tahun 1940.
Karya-karyanya yang terkenal diantaranya: Pancaran Cinta dan Prosa Berirama (1926), Puspa Mega dan Kumpulan Sajak (1927), Airlangga, drama dalam bahasa Belanda, (1928), Eenzame Caroedalueht, drama dalam bahasa Belanda (1929), Madah Kelana dan kumpulan sajak yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1931), naskah drama Kertajaya (1932), naskah drama Sandhyakala Ning Majapahit (1933), naskah drama Manusia Baru yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940). Selain itu, ia juga menerjemahkan dari bahasa Jawa kuno kekawin Mpu Kanwa dan Arjuna Wiwaha yang diterbitkan oleh Balai Pustaka (1940).
Jiwa nasionalismenya terlihat antara lain dari pernyataan Sanusi Pane tentang akan dibentuknya perhimpunan pemuda-pemuda Batak yang kemudian disepakati bernama “Jong Bataks Bond.” Ia menyatakan: “Tiada satu pun di antara kedua pihak berhak mencaci maki pihak lainnya oleh karena dengan demikian berarti bahwa kita menghormati jiwa suatu bangsa yang sedang menunjukkan sikapnya.” (Dikutip dari Nationalisme, Jong Batak, Januari, 1926).
Dalam naskah itu, Sanusi Pane menyampaikan gagasannya bahwa perhimpunan bagi pemuda-pemuda Batak bukan berarti upaya pembongkaran terhadap de Jong Sumateranen Bond (JSB). Tetapi sebaliknya, menumbuhkan persaudaraan dan persatuan orang-orang Sumatera. Karena itu, Sanusi Pane mengingatkan agar tak ada caci maki antara kedua belah pihak. Semua harus saling menghargai dan menghormati sebagai sesama bangsa, lebih-lebih sebagai sesama Sumatera.
Sumber : http://www.tokohindonesia.com
Totalitas Buat Gondang dan Opera Batak
Hampir seluruh hidupnya untuk gondang, uning-uningan, tortor dan opera Batak. Ia murid langsung almarhum Tilhang Oberlin Gultom itu (pendiri opera Batak akhir tahun 1920-an). Ia amat gelisah atas perkembangan kesenian Batak dewasa ini. Sebab, menurutnya, semua orang Batak sudah menyeleweng dari budayanya. Lihat pesta-pesta perkawinan, band lebih selalu ditanggap ketimbang gondang termasuk saat mangulosi, menyampirkan ulos kepada pengantin dan kerabatnya.
Menuju rumahnya di belahan timur Jakarta selepas tol, jalan aspal menanjak dan sempit. Hanya bilangan kilometer dari Taman Mini. Di sisi jalan menganga sebuah gang semak dan tanah coklat. Seorang perempuan muda cantik sedang menanti. Ia memandu kami.
Tak sampai tiga menit, tersua hamparan tanah merah 200-an meter persegi. Kering dan keras sebab matahari sedang terik. Tak satu belukar tumbuh. Hanya rumah petak berpintu lima yang kelihatan di seberang. Lantainya satu kaki di bawah permukaan tanah merah itu. Bila hujan turun, gumpalan lumpur mesti melekat di kasut mengonggok di lantai rumah bilik itu.
Sesosok laki-laki dengan seluruh rambut memutih berdiri di mulut pintu salah satu petak. Di tahun 1970 hingga 1980-an, wajah itu kerap terlihat di TVRI. Jarinya memetik kecapi di tengah gondang atau uning-uningan Toba. Tahunan ia menata dan mengisi tayangan tortor dan opera Batak di situ. Di tahun 1990-an sesekali ia mengiringi nyanyian dan tari Batak, bersama regu band Tarida Pandjaitan br Hutauruk, dalam program Horas di televisi swasta. Ia mudah dikenali dalam sorotan kamera, sebab pada usia tujuh puluhan, rambut putihnya selalu terkucir.
Read the rest of this entry »
Sastrawan Angkatan 45
Budayawan dan sastrawan angkatan 45, Mh Rustandi Kartakusuma, yang akrab dipanggil Uyus, meninggal dunia dalam usia 87 tahun, Jumat 11 April 2008 pukul 06.15 WIB di Panti Jompo Ria Pembangunan, Cibubur. Pria kelahiran Ciamis, Jawa Barat, 20 Juli 1921, itu tidak menikah sampai akhir hayatnya. Pada masa mudanya, dia dikenal sebagai sastrawan yang produktif. Dimakamkan Jumat siang 11/4 di Tempat Pemakaman Umum Pondok Rangon, Cibubur.
Uyus pernah mengajar di Yale University dan Harvard University, Amerika Serikat. Juga pernah memberikan kuliah di Massachusetts Institute of Technology atas undangan Stichting voor Culturele Samenwerking. Sempat setahun tinggal di Belanda dan belajar musik di Muzieklyceum, Amsterdam.
Pada masa tuanya, sejak 13 November 1996, Uyus tinggal di Panti Jompo setelah sebelumnya menumpang di rumah kakaknya di Kebon Sayur, Jakarta. Tahun 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri ia menganugerahkan penghargaan Satya Lencana Kebudayaan atas jasanya mengembangkan kesusastraan dan kebudayaan Sunda. Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi juga menganugerahkan penghargaan Sastra Rancage atas kumpulan cerpennya.
Sumber : http://www.tokohindonesia.com/
Si Pelukis Avant Garde
Rusli, pelukis senior yang sejajar dan seangkatan dengan pelukis Affandi, Sudjojono dan Hendra Gunawan. Dia dikenal sebagai tokoh pembaharu seni lukis Indonesia. Di samping juga konsistensinya untuk mempertahankan prinsip-prinsip dalam berkesenian, yakni kesederhanaan, baik dalam lukisan maupun dirinya.
Bagi Rusli, melukis bukan sekadar sebuah profesi, melainkan lebih tepat sebagai panggilan hidup dan pengabdian. Sebagai pelukis, Rusli memunyai karakter yang khas dalam karya-karyanya. Meski lukisan-lukisannya tampak sederhana, baik dalam garis, bidang, maupun warna, selalu tampak menarik.
Lukisan-lukisannya yang selalu berlatar putih adalah pengejawantahan dari sebuah kosmos. Bisa dilihat dari sapuan warna-warna tropisnya yang terbentuk dari bermacam garis sekali jadi. Sebagai bentuk pemahaman yang sangat kental darinya pada alam dan kehidupan. Karena bahasa garis itu pula, banyak orang yang tak gampang mencerna dan memahami lukisannya. Sehingga, seorang temannya, Umar Kayam, menyebut Rusli sebagai pelukis Avant Garde. Sebutan yang telah memopulerkan karya-karya Rusli.
Read the rest of this entry »
Tokoh Seni di Balik Layar
Sia seorang tokoh terkemuka dalam jagat seni pertunjukan Indonesia. Seorang skenografer pertunjukan yang berperan besar di balik layar. Roedjito, dipanggil Mas Djito, seniman kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 21 Juni 1932 meninggal dunia di Rumah Sakit Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta, Jumat, 26 September 2003, pukul 00.20 WIB. Seniman berpenampilan bersahaja tetapi selalu memancarkan pikiran besar.
Kesederhanaan itulah prinsip Mbah Djito dalam mengarungi samudera hidupnya. Tercermin nyata dari kondisi rumah yang dihuni, hanya seluas 2,5×3,5 meter persegi. Tapi dalam rumah kecil itu, bertumpuk tujuh ribuan buku dalam berbagai bahasa. Dia skenografer pertunjukan terkemuka, yang memilih hidup sederhana. Baginya, uang bukan segala-galanya. Ada atau tidak ada uang, dia selalu mengerjakan sesuatu dengan kesungguhan yang sama.
Mbah Djito mengawali kipranya dalam latar kesenian, saat masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Ketika itu, ia bertemu dengan beberapa seniman, seperti sastrawan Asrul Sani, dan sutradara film Usmar Ismail dan pelukis Oesman Effendi. Bergaul denga para seniman itu, membulatkan tekadnya meninggalkan bangku kuliah.
Sumber : http://www.tokohindonesia.com
by           :    Nuerfaizi aje talaha {joxi suroboyo}



Tidak ada komentar:

Posting Komentar